Selasa, 05 April 2016

Renungan Jembatan Aborsi: Sebuah Tujuan Hidup

Jembatan Aborsi adalah sebuah sebutan jembatan penyeberangan rel kereta api yang menghubungkan antara Universitas Indonesia dan Barel. Struktur anak tangga yang tidak rata dan tidak memiliki tinggi yang sama membuat pengguna jembatan pasti merasa lelah. Sehingga, seolah-olah wanita hamil yang melewati tangga itu akan keguguran – naudzubillah – maka disebutlah jembatan aborsi.

But, why? Mengapa sebuah renungan?

Setiap hari aku melewati jembatan itu. Terdapat dua pemandangan wajib diatas jembatan. Pada sebelah kiri, kita akan melihat deretan baliho di UI. Akhir-akhir ini, baliho-baliho itu menampilkan mahasiswa UI yang ikut Model United Nations (MUN). Aku akui, itu sangat keren! Sudah 3 tahun aku melihat pergantian pemain yang mengikuti MUN. Lalu di sebelah kanan, Apartemen Taman Melati, tempat orang menengah keatas berisitirahat. Beristirahat. Pagi pergi, pulang sore atau malam.

Aku mulai bertanya kepada diri sendiri, mereka sudah sampai ke luar negeri, sudah memiliki prestasi sangat besar, sedangkan aku? Apa yang telah aku kerjakan? Mereka tidur nyenyak di apartemen yang setiap malam kupandang gemerlap lampunya. Kapan aku bisa seperti itu? Punya cukup uang untuk tidur nyenyak di apartemen semacam itu.

Mengapa aku cuma gini-gini aja?

Apa yang udah aku lakuin?

Kapan aku bisa?

Mungkin ini yang membuatku terus menggerutu. Kok dia bisa, aku gak bisa? Pun aku akhirnya merenung. Oke renungan ini cukup lama, tiga tahun aku merenung dan baru-baru ini aku menemukan jawabannya. Lalu aku kembali ke dasar dari hidup ini. Apa sih tujuan hidupku? Ya, tujuan!

Setelah berdiskusi dengan Seta, manusia keturunan seniman yang hidupnya berseni pula, aku menemukannya. Simpel. Membahagiakan keluarga. Ya, tujuan hidupku sesimpel itu. Keluargaku saat ini atau keluarga yang akan aku pimpin nantinya. Akan berakhir saat aku mati. Selesai. Kayak anak kecil banget ya tujuannya? Bukan masalah.

Karena tujuanku luas banget batasannya, maka cara mencapainya pun banyak. Aku pulang ke rumah setiap bulan, itu salah satu bentuk caraku saat ini. Aku nanti memilih kerja yang tidak lembur mati-matian itu pun salah satu caraku nantinya. Belajar Akuntansi Syariah biar tahu mana kasus halal-haram dalam transaksi, pun salah satu caraku juga.

MUN? Mungkin itu cara mereka mencapai tujuan. Siapa tau tujuan mereka memang mau menjadi orang yang dikenang oleh Indonesia. Apartemen Taman Melati? Mungkin itu juga cara mereka mencapai tujuan mereka sendiri. Siapa tau tujuan mereka adalah ingin selalu tidur nyenyak dan aman dengan cara mereka sendiri.

Aku masih ingat, dalam tiga tahun ini aku terus menggerutu. Melihat teman-teman SMA sudah melakukan banyak hal. Terlebih teman-teman selama di perkuliahan. Aku hanya duduk di kamar dan menonton tumpukan film. Setiap buka media sosial, aku semakin menyalahkan diriku. Yaudah, gak ada perkembangan. Siklusnya gitu-gitu aja.

Setelah aku menemukan tujuan hidupku, aku mulai menghargai pencapaian mereka dan pencapaian diriku sendiri. Aku bangga aku sudah pernah hidup dua tahun di Asrama UI. Aku bangga sudah menghabiskan waktu di KRL seharian hanya melihat orang bersosialisasi. Aku bangga sudah mendengarkan Prambors setiap harinya. Aku bangga bisa makan dari nasi yang kumasak sendiri. Aku bangga pernah melihat Jusuf Kalla dari kejauhan. Aku bangga pernah tersasar di Solo. Aku bangga sudah pernah keliling sebagian Jakarta menggunakan Go-Jek. Aku bangga akan hidupku.

Tapi, bukan berarti dengan tujuannku yang sesimpel itu terus aku akan terlena, "Kan tujuanku membahagiakan keluarga, gampang kan?" Nope. Buat apa menjadi kebahagiaan keluarga tapi hanya yang rata-rata saja? Aku harus tetap membuat prestasi yang gemilang.

Ketika kita sudah tau tujuan hidup, kita akan menghargai hidup kita sendiri. Kita juga tidak akan membandingkan diri kita dengan orang lain yang udah sukses. Karena jelas, tujuan setiap orang berbeda-beda maka secara otomatis cara untuk menempuhnya pun berbeda-beda pula. Jangan salah memandang pula, terkadang yang kita bandingkan adalah cara orang untuk mencapai cara-cara dia yang lain untuk menuju tujuan mereka yang sebenarnya. Jadi, lihatlah bahwa mereka sedang berusaha mencapai tujuan besar mereka masing-masing.

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
QS. Az-Zariyat ayat 56


Depok, 3 Maret 2016 | 02.55 A.M.
Besok UTS Manajemen Perpajakan & Teori Akuntansi
Share:

1 komentar:

  1. I've ever heard in one of Jumat Prayer speech in Campus, khatib (am i spell it right?) Said soemthing like this : "Every one of us have that one CONSTANTINOPLE to take down in life"

    I take it like, agree with you, that every one of us live for their unique dreams and their own obstacle.

    Anyway, thanks for "Hidupnya berseni pula" hahaha

    BalasHapus