Jembatan Aborsi
adalah sebuah sebutan jembatan penyeberangan rel kereta api yang menghubungkan
antara Universitas Indonesia dan Barel. Struktur anak tangga yang tidak rata
dan tidak memiliki tinggi yang sama membuat pengguna jembatan pasti merasa
lelah. Sehingga, seolah-olah wanita hamil yang melewati tangga itu akan
keguguran – naudzubillah – maka
disebutlah jembatan aborsi.
But, why?
Mengapa sebuah renungan?
Setiap hari aku
melewati jembatan itu. Terdapat dua pemandangan wajib diatas jembatan. Pada
sebelah kiri, kita akan melihat deretan baliho di UI. Akhir-akhir ini,
baliho-baliho itu menampilkan mahasiswa UI yang ikut Model United Nations (MUN). Aku akui, itu sangat keren! Sudah 3
tahun aku melihat pergantian pemain yang mengikuti MUN. Lalu di sebelah kanan, Apartemen
Taman Melati, tempat orang menengah keatas berisitirahat. Beristirahat. Pagi
pergi, pulang sore atau malam.
Aku mulai
bertanya kepada diri sendiri, mereka sudah sampai ke luar negeri, sudah
memiliki prestasi sangat besar, sedangkan aku? Apa yang telah aku kerjakan?
Mereka tidur nyenyak di apartemen yang setiap malam kupandang gemerlap
lampunya. Kapan aku bisa seperti itu? Punya cukup uang untuk tidur nyenyak di
apartemen semacam itu.
Mengapa aku cuma
gini-gini aja?
Apa yang udah
aku lakuin?
Kapan aku bisa?
Mungkin ini yang
membuatku terus menggerutu. Kok dia bisa, aku gak bisa? Pun aku akhirnya
merenung. Oke renungan ini cukup lama, tiga tahun aku merenung dan baru-baru
ini aku menemukan jawabannya. Lalu aku kembali ke dasar dari hidup ini. Apa sih
tujuan hidupku? Ya, tujuan!
Setelah
berdiskusi dengan Seta, manusia keturunan seniman yang hidupnya berseni pula,
aku menemukannya. Simpel. Membahagiakan keluarga. Ya, tujuan hidupku sesimpel
itu. Keluargaku saat ini atau keluarga yang akan aku pimpin nantinya. Akan berakhir
saat aku mati. Selesai. Kayak anak kecil banget ya tujuannya? Bukan masalah.
Karena tujuanku
luas banget batasannya, maka cara mencapainya pun banyak. Aku pulang ke rumah
setiap bulan, itu salah satu bentuk caraku saat ini. Aku nanti memilih kerja
yang tidak lembur mati-matian itu pun salah satu caraku nantinya. Belajar
Akuntansi Syariah biar tahu mana kasus halal-haram dalam transaksi, pun salah
satu caraku juga.
MUN? Mungkin itu
cara mereka mencapai tujuan. Siapa tau tujuan mereka memang mau menjadi orang
yang dikenang oleh Indonesia. Apartemen Taman Melati? Mungkin itu juga cara
mereka mencapai tujuan mereka sendiri. Siapa tau tujuan mereka adalah ingin
selalu tidur nyenyak dan aman dengan cara mereka sendiri.
Aku masih ingat,
dalam tiga tahun ini aku terus menggerutu. Melihat teman-teman SMA sudah
melakukan banyak hal. Terlebih teman-teman selama di perkuliahan. Aku hanya
duduk di kamar dan menonton tumpukan film. Setiap buka media sosial, aku
semakin menyalahkan diriku. Yaudah, gak ada perkembangan. Siklusnya gitu-gitu
aja.
Setelah aku
menemukan tujuan hidupku, aku mulai menghargai pencapaian mereka dan pencapaian
diriku sendiri. Aku bangga aku sudah pernah hidup dua tahun di Asrama UI. Aku
bangga sudah menghabiskan waktu di KRL seharian hanya melihat orang
bersosialisasi. Aku bangga sudah mendengarkan Prambors setiap harinya. Aku
bangga bisa makan dari nasi yang kumasak sendiri. Aku bangga pernah melihat
Jusuf Kalla dari kejauhan. Aku bangga pernah tersasar di Solo. Aku bangga sudah
pernah keliling sebagian Jakarta menggunakan Go-Jek. Aku bangga akan hidupku.
Tapi, bukan berarti dengan tujuannku yang sesimpel itu terus aku akan terlena, "Kan tujuanku membahagiakan keluarga, gampang kan?" Nope. Buat apa menjadi kebahagiaan keluarga tapi hanya yang rata-rata saja? Aku harus tetap membuat prestasi yang gemilang.
Ketika kita
sudah tau tujuan hidup, kita akan menghargai hidup kita sendiri. Kita juga
tidak akan membandingkan diri kita dengan orang lain yang udah sukses. Karena
jelas, tujuan setiap orang berbeda-beda maka secara otomatis cara untuk
menempuhnya pun berbeda-beda pula. Jangan salah memandang pula, terkadang yang
kita bandingkan adalah cara orang untuk mencapai cara-cara dia yang lain untuk
menuju tujuan mereka yang sebenarnya. Jadi, lihatlah bahwa mereka sedang
berusaha mencapai tujuan besar mereka masing-masing.
“Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
QS.
Az-Zariyat ayat 56
Depok, 3 Maret
2016 | 02.55 A.M.
Besok UTS
Manajemen Perpajakan & Teori Akuntansi
I've ever heard in one of Jumat Prayer speech in Campus, khatib (am i spell it right?) Said soemthing like this : "Every one of us have that one CONSTANTINOPLE to take down in life"
BalasHapusI take it like, agree with you, that every one of us live for their unique dreams and their own obstacle.
Anyway, thanks for "Hidupnya berseni pula" hahaha