Kamis, 29 Juni 2017

Sepasang Sejoli, Gimana Sih Percurhatan Yang Oke Diantara Kalian?

Berawal dari pengalaman sepasang sejoli yang kutemui akhir-akhir ini, ku belajar suatu hal. Dan ku kerucutkan jadi sebuah pertanyaan, 'Gimana sih curhat yang oke tentang pasangan dan kepada siapa ku harus curhat?'

Teringat dari petikan ceramah Ustadz Salim A. Fillah yang kurang lebih, 'Kalau udah ada jamaah wanita, SMS atau tanya ke saya perihal rumah tangganya, saya langsung serahkan ke istri saya atau saya menolak menjadi tempat konsultasi.'

Bagi Ustadz Salim, hal tersebut sangat berbahaya. Karena bisa sang wanita menjadi nyaman dengannya atau saran-saran yang ada malah menghancurkan hubungan dengan sang pasangan.

'Seandainya esok ada masalah ketika menikah, sang istri bercerita ke Ibunya, maka sang Ibu harus mendukung menantunya, bukan anaknya. Begitu pula dengan Ibu sang suami.' lanjut Ustadz Salim di ceramahnya. Logika ini bener banget! Kenapa? Karena akan saling menguatkan hubungan pasangan. Ketika sang Ibu malah setuju, akan timbul dua kubu yang memanaskan hubungan.

Hal ini sangat bagus. Menutup celah sebagai tempat curhat lawan jenis dan mendukung pasangan dari seorang yang curhat ke kamu.

Jadi, ketika ada lelaki curhat ke teman wanitanya, itu akan berbahaya karena bisa menjadi terlanjur nyaman. Begitu pula wanita kepada teman lelakinya. Solusinya apabila udah terlanjur seperti itu, maka introspeksi kok bisa sampe pasangan kita curhat ke lawan jenis, bisa jadi ada perilaku yang membuat pasangan tidak nyaman untuk bercerita. Bisa karena kita marah terus, jutek, gak ada percikan cinta, atau lainnya.

Dan ketika wanita curhat ke temen-temen wanitanya, lalu mereka berkata, 'Wah iya kamu bener banget, laki mu emang gak bener dah' maka hati-hatilah atas saran itu. Apabila gak parah banget, hindari saran itu. Begitu pula dengan sang lelaki dan kawan-kawan lelakinya. Sebaiknya, cari lingkaran yang sebaliknya, 'Tapi kalo gitu kan berarti laki mu tandanya sayang dong sama kamu. Iyaaaa kan? Iyaaaa kan?' Bisa dimulai dari kita apabila teman curhat, sehingga ketika kita curhat, teman kita akan memberikan saran yang tidak jauh berbeda. Atau bikin perjanjian dengan teman dalam lingkaran kita untuk membela sang pasangan, bukan diri kita.

Well, tetap percaya pada pasangan kita dan serahkan sisanya ke Allah semata, semoga bermanfaat! 😁
Share:

Minggu, 23 April 2017

Mengapa Tidak Langsung Belajar Al-Quran dan Al-Hadist Aja?

Aku sempat berpikir untuk seperti itu.

"Ngapain kita belajar ilmu lain dari Ustadz kalo kita bisa langsung nemu di Al-Quran dan Al-Hadist?"

Lalu, aku coba beberapa saat. Hasilnya? Bingung setengah mati.

Kita tau kalo terjemahan Indonesia dari Al-Quran, sangat bukan kosa kata orang Indonesia. Mana ada kosa-kata Indonesia yang menggunakan perandaian dan sangat indah? Saking indahnya aku berpikir, ini maksudnya mau ngomong apa sih?

Mulai saat itulah ku tersadar. Bayangkan bahwa Al-Quran dan Al-Hadist adalah ilmu yang paripurna. Ketika belajar advance accounting saja, kita mesti belajar pengantar akuntansi dan intermediate accounting. Gimana kita paham kalo ujug-ujug langsung belajar advance accounting? Sesat pikir yang ada. Terlebih kalo kita terapkan ke Al-Quran dan Al-Hadist yang mana kita nggak belajar disiplin ilmunya. Gimana kita mau ujug-ujug ke ilmu paripurnanya? Yaa sesat pikir yang ada.

Akhirnya ku mengakui diri karena bukan dari disiplin ilmu yang mempelajari Al-Quran dan Al-Hadist, maka ku hanya bisa mempelajari melalui ceramah-ceramah Pak Ustadz. Ini kalo diandaikan yaa masih PAUD. Belajar permukaan aja, ibadah yang akan dilakukan sehari-hari. Sudah. Ketika akan memasuki lebih dalam, ilmuku gak nyampe, karena memang disiplin ilmuku tidak disana.

Jadi, jangan keblinger untuk sok-sokan langsung belajar ke kedua sumber ilmu yang paripurna. Ikuti prosesnya saja, kalau tidak mau yaaa dengarkan ulasan-ulasan dari sumber ilmu tersebut. Jangan pernah menjadi ahli agama sedangkan kita tidak belajar disiplin ilmu itu. Jangan! Debat kusir ntar adanya.
Share:

Menit dan Jam, Jogjakarta dan Jakarta

“Deket kok, cuma 15 menit.”
“Wah jauh banget, makan satu jam di jalan itu.”

Jogjakarta. Kota kecil yang sering dieluhkan ‘wah wes koyo Jakarta wae’ (Wah udah seperti Jakarta saja) bagi sebagian penduduknya karena merasakan semakin banyaknya kemacetan. Perbandingan yang tidak sepadan menurut saya.

-----------

“Deket kok, cuma sejam”
“Cepet yaa, juma satu setengah jam.”

Jakarta. Sebuah provinsi yang kota-kota administratifnya terkadang tidak dianggap – coba siapa walikota Jakarta Barat? Kepadatan ada dimana-mana dan kemacetan bisa hampir ada di setiap kepadatan kendaraan. Entah jalan besar atau jalan perkampungan.

-----------

Perbedaan mendasar dalam perjalanan dari dua daerah itu adalah penggunaan satuan waktu menit dan jam. Jogjakarta menggunakan menit sebagai satuan lama perjalanan, sedangkan Jakarta menggunakan jam. Atas penggunaan standar yang berbeda ini, memberikan dampak yang sangat besar bagi kedua warga daerah tersebut apabila saling berkunjung.

Seorang Jogjakarta akan merasa sangat mati kutu dalam perjalanan setengah jam, meskipun di awal sudah diiming-imingi dengan ‘deket kok’. Sangat mati kutu. Karena hasil capaian jaraknya gak jauh. Sedangkan seorang Jakarta akan merasa hidup lebih bebas di Jogjakarta, meskipun melakukan perjalanan jauh versi seorang Jogjakarta, karena semua daerah jauh dicapai dengan waktu yang sepadan. Sehingga akan memandang indah Jogjakarta.

“Edyan muacet puol nek ning Jakarta ki.” – seorang Jogjakarta
“Jogja tu enak, nyaman, gak macet.” – seorang Jakarta

Semacet-macetnya Jogjakarta, tidak akan menyamai macetnya Jakarta. Itulah salah satu daya tarik Jogjakarta bagi seorang Jakarta. Selenggang-lenggangnya Jakarta, tetep aja rame sih. Jadi bukan daya tarik seorang Jogjakarta.

Jadi, buat seorang Jogjakarta, apabila memang ingin ke Jakarta, ubahlah persepsi perjalanan dari menit ke jam. Dalam sehari jangan kebanyakan tujuan perjalanan. Sedangkan buat seorang Jakarta, ubahlah pandangan jam menjadi menit. Karena Jogjakarta daerahnya kecil dan tidak semacet daerah asalmu. Buat hingga 5 tujuan pun dapat kau capai dalam sehari. Selamat berperjalanan!

Share:

Kamis, 16 Februari 2017

Margonda, Angkot, dan Penyeberang Jalan

Jalan Margonda. Sebuah jalan yang menurutku adalah denyut ekonominya Depok. Setelah lepas dari Jalan Margonda, akan terlihat sangat kontras antara Depok sebagai kota penunjang dan Jakarta sebagai kota pusatnya.

Setiap pagi, kendaraan menggeber gasnya untuk meningkatkan kecepatannya ke arah Jakarta. Mungkin biar cepet sampe kantor, takut terlambat. Ngeri lagi kalo malem jam pulang kantor. Para pengendara udah kebelet istirahat di rumah, jadinya ke arah Depok pada ngebut semua.

Para penduduk di Kober yang setiap mau ke kampus mesti wajib nyebrang Jalan Margonda ini. Kalau gak berani, mending gak usah nyebrang atau nunggu orang. Menunggu pengendara kasih kesempatan nyebrang itu kayak nunggu fakta kalau bumi itu datar. Lama dan hampir mustahil.

Nah, disinilah peranan angkot! Angkot sering banget ngetem di bibir gang Barel. Karena ngetemnya berkepanjangan dan menumpuk, akhirnya memakan badan jalan. Pengendara pun harus terpaksa melambatkan kecepatannya. Imbasnya, penyeberang jalan pun akan lebih aman dan mudah untuk menyeberang. Ini sangat membantu apabila dipagi hari. Karena tidak ada pembatas balok antara jalur cepat dan lambat untuk arah Jakarta. Sedangkan untuk arah Depok, para penyeberang jalan harus lebih berhati-hati.

Yah, setidaknya angkot ada sisi baiknya. Terimakasih, kot!
Share:

Jumat, 13 Januari 2017

Berbahagia Dalam Berprofesi

Suatu hari, ku melihat kebahagiaan dari dua jenis profesi.

Dokter
Beliau bercerita bukan masalah biaya pengobatan yang membuat kebahagiaan seutuhnya.
'Kalau pasien tulus berterimakasih, nggak rewel, menghargai profesi kami, itu lebih bahagia daripada kuantitas pasien yang lebih sedikit dan membayar lebih mahal.' ujar sang dokter tersebut.

Tentara.
Muka bahagia dan bangga terlihat ketika ada anak kecil bertanya mengenai profesinya. Beliau hanya bercerita sedikit dan menambahkan cerita khas anak kecil, 'Ada lebah galak dan kelinci yang digigitnya...'. Rasa puas itu terlihat dari mukanya.

Bahagia itu sederhana.

Konsultan pajak? Wah, ku harus berpikir apa kebahagiaanku nanti dan bagaimana menerangkan pekerjaanku. HAHA.
Share:

Kepercayaan Orangtua

Selintas ku merenung. Betapa besar kepercayaan Bapak ibu kepadaku.

SD ku mulai perjalanan sendiri dengan bus dan sepeda.
SMP ku dipinjami motor oleh mereka.
SMA ku habiskan waktuku tuk berkelana.
Kuliah ku jauh dari lingkaran geografisnya.

Seandainya ku menjadi orang tua kelak, bisakah melepas anakku seperti ini? Memberi kepecayaan penuh pada cucu dari Bapak Ibuku?

'Sudah sampai UI, kenapa harus balik ke Jogja?'
Penutup pamungkas dari Bapak dalam renungan ini.

Klaten
Senja Utama Solo
Sabtu, 30 Desember 2016 18:13
Share:

3 Tahun Berlalu Sudah



'Kuliah dimana, Bur?'

Akuntansi UI.

Alasannya karena gak tau mau kemana dan Akuntansi UI cukup WAH bagi anak daerah. HAHA.

------------------------------------------------------------

Sudah 3 tahun semenjak pertanyaan itu ada. Kini sudah mendekati akhir dari perjalanan gue di kampus yang gue sebutkan diatas.

Terimaksasih FEUI 2013. Karena sudah mengajari gue bagaimana membentuk pola memikirkan diri sendiri tanpa mengesampingkan kepentingan sosial.

Good luck buat skripsi atau laporan magangnya!
Share:

Kenclengku Daarut Tauhid

Sebuah terobosan bagus dari Daarut Tauhid yang sebenernya udah lama berjalan, tapi tetep aja gue akuin sebagai terobosan yang oke punya.


Mungkin komunitas Budha Tzu Chi udah mulai duluan dengan Celengan Bambu-nya, tapi bukan hal yang buruk untuk mengikutinya kan?

Simpel, jelas, dan memudahkan.

Tinggal ambil gratis di kantor cabang Daarut Tauhid, masukin recehan setiap harinya. Kalau udah penuh, bisa setorkan langsung. Cara simpel untuk bersedekah dari uang receh yang tidak kita harapkan dengan hasil prgram yang jelas. Entah untuk sosial atau keagamaan.

Daripada kita ngasih ke pengemis dan setelah ngasih 'Ih kerjaan kok minta-minta', mending masukin aja ke Kenclengku. Yuk, ikutan!


Hasil gambar untuk kenclengku

Sumber Gambar : Link
Share:

Sabtu, 17 Desember 2016

Pertanyaan Penuh Makna Khas Ibu

"Sudah sholat belum?"


Pertanyaan pamungkas dari Ibu yang selalu ditanyakan ke aku. Sejak SD hingga kini. Mulai saat persami sampai merantau disini.

Mungkin dalam kamus beliau, gak ada pertanyaan macam:

"Udah makan?"
"Gimana sekolah?"

Terkadang aku merasa, ini aku beneran diperhatiin gak yaa? Kok gak pernah ditanyain pertanyaan lain.

Hingga suatu ketika, Mbak Lulu juga mempertanyakan hal yang sama dalam canda tawa keluarga.

Oke, berarti bukan hanya aku aja yang ditanyain kaya gitu. Aman.

-------

Kini, baru tersadar. Pertanyaan ringkas yang terus berulang itu, memiliki penuh makna.

Meskipun tak tersurat kasih sayang, tetapi makna siratan yang ada tak mampu tertampung oleh apapun di dunia ini.

Seandainya pertanyaan ini lepas, mungkin pertanyaan 'udah makan' dan 'gimana sekolah' akan terjawab 'ntar aja' dan 'ya begitulah'. Ya, karena tiang hidupku bisa jadi akan rapuh, sehingga hidup akan ikut bergoyang juga.

Terimakasih Ibu, atas pertanyaanmu yang selalu mengingatkanku. Semoga menjadi ladang amalmu kelak nantinya.

-------

Kini, pertanyaan rutin dari Ibu bertambah satu semenjak merantau.

"Uang udah habis belum?" 

HEHEHE.
Share:

Dimana Mendapatkan Kawan?

"Pak, kenapa kawan di SMA dan di kuliahan rasanya beda ya Pak?"


Ku mulai pembicaraan dengan Bapak kala itu dengan sebuah pertanyaan yang mungkin ke kanak-kanakan. Iya, pertanyaan kegundahaan yang saat itu kurasakan, sekitar 2 tahun lalu.

"Iya, emang beda."

Ku mulai berpikir dari jawaban Bapak. Kenapa Bapak menyetujui pertanyaanku?

"Kawan SMA memang untuk kawan bersenda gurau. Untuk lebih dari itu, susah."

Lanjut jawaban dari Bapak, sembari ku terus menyimaknya.

"Sedangkan kawan kuliah, akan berguna bagimu untuk kerja kelak. Maka, senda guraunya tidak sebanyak kawan SMA."

Tak ada pertanyaan lagi atas jawaban Bapak yang terakhir ini. Ku hanya berpikir dan bertanya dalam hati, apakah iya?

-------

2 tahun berlalu dan kini kusadari.

Untuk bersenda gurau secara lepas,  aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam dengan kawan SMA. Topik yang sangat luas tanpa batas. Tetapi akan berhenti disitu saja. Itu masa lalu. Nostalgia.

Kini, semakin terfokus pikiran kami. Topik pembicaraan yang kulakukan dengan kawan kuliah tak jauh dari ekonomi dan bisnis. Sudah. Paling menyerempet ke politik. Terkadang memang membosankan, tetapi untuk mengasah pengetahuan kerja, bersama rekan kerja di masa depan, menjadi sebuah investasi baru dan cukup menjanjikan.

---------

Jadi, dimana akan mendapatkan kawan? SMA atau Kuliah? Keduanya bisa dan keduanya akan bermanfaat.

Perpustakaan FEB UI
Depok, 17 November 2016
H-14 Deadline Proposal Skripsi
Share: