Senin, 21 Maret 2016

Hai Pria Cemas, Inilah Rasulullah dan Khadijah



Malam ini aku lihat postingan itu dari akun line Halal Jokes 2.0.

TAP! WHY?

Ya! Aku baru tersadar dari kesimpulan kecil yang sangat menggambarkan kondisi kebanyakan pria sekarang. Hal tersebut gak terpikir sama sekali padahal kisah pernikahan Rasulullah udah dari kecil diceritain sama Ibu dan sampai sekarang aku baca sendiri kisahnya.

Ada tiga poin penting dari hal tersebut: lebih kaya, lebih tua, dan lebih sukses. Aku bakal kasih opini satu-satu dari ketiga poin itu.

1. Lebih Kaya

Bayangkan ketika Rasulullah melamar, beliau memberikan mahar 20 ekor unta muda1) yang mana kalo dikonversikan ke sekitar tahun 2015 itu kira-kira setara sama Rp280.000.0002). Sekaya itulah Rasulullah. Ingat, umurnya 25 tahun.

WAIT.

Dimanakah Rasulullah bekerja? Di tempat Khadijah.

Siapa bosnya? Khadijah pula.

Karyawannya aja sekaya itu, gimana bossnya? Okelah aku yakin Rasulullah bukanlah karyawan biasa, sebut saja kepala badan. Seberapa kaya sih kekayaan kepala badan daripada sang boss?

Kita tarik kondisi sekarang. Apakah perbedaan kekayaanmu dan calon istrimu lebih tinggi dari kasus Rasulullah? Enggak kan? Lalu, kenapa harus cemas menikahi calon istrimu?

Sob, bayangin seberapa relanya wanita itu melepaskan segala kekayaan bersama orangtuanya dan memilih hidup dari nol bersamamu. Itu perjuangan besar bagi wanita yang butuh make up, perawatan, pakaian banyak, ini itu ini itu. Berat sob. Kita? Yaelah, cuma mikirin "Kan dia kaya, aku sederhana gimana yaa. Bisa gak yaa. Hidup kita kan selama ini beda." Habis mikirin gitu terus kalo calon istrimu ternyata gak bisa masak apa nyapu rumah terus kamu kecewa terus ganti yang lain. Aelah cemen banget sih standar pemilihan istrimu.

Mendiskusikan hal ini dengan calon istrimu boleh boleh aja. Tapi jangan sampe berpikir atau menyudutkan istrimu gak bisa ngapa-ngapain karena selama hidupnya, dia hidup nyaman. Itu menyakiti hatinya banget.

Yang kaya itu orangtuanya. Kalo dia emang kaya, dia emang butuh perlengkapan lebih daripada kita para lelaki, jadi maklumilah.

2. Lebih tua

Rasulullah ini nikah umur 25 tahun dan Khadijah saat itu umurnya 40 tahun (ada pendapat yang mengatakan 28 tahun). Rentang yang sangat tinggi bukan? Itu kayak ketika kita udah mengenal cinta monyet, terus pasanganmu baru keluar dari rahim.

Selama itu kah jarak umurmu dan calon istrimu?

Yang kita bayangin pasti kalo cewe itu ribet. Apalagi yang lebih tua, pasti merasa lebih tau – emang lebih tau sih – terus kita sebagai cowo gak mau egonya terjajah. Kita harus lebih berkuasa, lebih jago. Jadi, kita cari wanita yang lebih muda dan polos serta imut imut.

Gak salah kok mencari yang lebih muda, kalau gak salah Umar bin Khattab menyarankan hal tersebut. Tapi ingat, gak salah juga kita dapet yang lebih tua.

Bayangkan ketika ada wanita lebih tua merelakan hidupnya dibawah pimpinan lelaki yang lebih muda. Susah lho itu. Lebih susah daripada cuma melepaskan kebiasaan hidup dengan kekayaan orangtuanya. Emang wanita egonya gak tinggi? Melepaskan ego itulah yang susah. Pun juga melepaskan stigma "Alah baru anak kemaren sore" hanya untuk sang suami yang lebih muda.

Bersyukurlah kalau pasanganmu lebih tua, setidaknya kamu akan merasa tenang dalam hal pendidikan anak-anak. Karena dia jauh lebih berpengalaman. Gak usah berkeluh kesah ini itu, nikmati sajalah.

3. Lebih sukses

"Dia lulus cumlaude terus langsung dapet kerja di multinasional dan bentar lagi mau lanjut kuliah di luar negeri. Aku mah apatuh."

Minder?

Boy, kalo terus mikirin semacam hal seperti itu, kapan kamu mau beranjak. Sudahlah, dia emang pantas mendapatkan kesuksesannya kok, karena dia berusaha.

Jangan lupa, nabi kita yang paling agung, Rasulullah itu kalo ada lomba calon suami minder dan beliau ikutan, bisa jadi beliau menjadi pemenang. Karyawan dan boss. Tanah dan bumi.

Khadijah ini orang sukses banget. Saudagar kaya. Sekali transaksi jual beli ekspor impor berapa banyaknya. Dan Rasulullah cuma karyawannya, kepala badan. Apa beliau gak minder tuh pas mau ngelamar bossnya sendiri? Kalo secara dugaan-dugaan, jelas minder. "Lau sokap?". Tapi nyatanya? Rasulullah maju terus pantang mundur. Tidak cemas dab tetap menikahi Khadijah.

Apakah posisimu se-ekstrim Rasulullah? Apaan coba posisimu? Ini Rasulullah udah kasih contoh kesuksesan bukanlah yang akan kamu nikahi, tapi wanitanya. Kenapa kamu harus minder dengan segala prestasi calon istrimu?

Terus sekarang kamu berpikir, tapi aku udah ngapain aja? Apa kesuksesan yang telah kuperbuat? Boy, tak usah kau pikirkan itu. Ketika kamu berani meminang calon istrimu dengan segudang prestasinya, maka kamu telah sukses memiliki orang sukses. Apa itu gak keren?

Ingat lagi juga boy, ketika kamu mencari orang yang tidak lebih sukses daripada kamu, maka anak-anakmu bakalan kasihan. Ibunya akan susah menjadi panutan sang anak. Beda kalo istrimu orang sukses, maka anak-anak akan terinspirasi olehnya.

Dan itulah opiniku tentang tiga poin tadi. Kesemuanya udah dicontohin sama Rasulullah. Udah ditaklukkan beliau. Hanya untuk kita, para ummat beliau yang spesial. Buat apalagi kamu cemas dengan hal-hal keduniawian itu? Toh kamu meminang orangnya, bukan aksesorisnya kan?

Semoga bermanfaat sob!

Catatan:
Share:

Kamis, 17 Maret 2016

Bersyukur, Maka Ditambah

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikamt-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim : 7)

Ini tentang beberapa hari yang lalu aku sedikit mendapat yaa dikatakan kesusahan. Kesusahannya simpel, kelas pengganti yang mendadak. Rencana yang sudah kususun baik-baik menjadi bubrah. Tapi mau gimana lagi?
Kira-kira hari itu hari Jumat, 4 Maret 2016. Jadi, rencananya tanggal Kamis, 17 Maret 2016 aku pulang ke Jogja. Balik lagi ke Depok Minggu, 20 Maret 2016. Soalnya tiba-tiba terdapat kelas pengganti di hari Jumat dan Sabtu, gak tanggung-tanggung, 4 sesi! Respon aku jelas wah bingung, kalut dan banyak lah.
Akhirnya aku harus mengatur ulang jadwal kepulangan aku seminggu lebih cepat, yaitu Kamis, 10 Maret 2016. Dan taraaaaa tiket kereta Jakarta-Jogja PP udah tinggal yang mahal-mahal. Akhirnya aku memutuskan Jakarta-Semarang-Jogja dan Jogja-Bandung-Jakarta. Menerima keadaan dan bersyukur masih dapaet akses pulang.
Nah, tepat setelah pesan tiket kepulangan dan hingga hari ini, ternyata terdapat rencana Allah yang sangat super.
1.       Ada rencana Welcoming Party Social Community di hari Jumat, 18 Maret 2016 – meskipun kemungkinan besar diundur karena suatu hal – yang mana aku gak mungkin ninggalin kan.
2.       Ternyata Bapak Ibu ke Jakarta di hari Sabtu, 19 Maret 2016. Seandainya aku balik tetep tanggal 17, kan tiket kuhanguskan dan aku gak balik Jogja. Ini udah balik Jogja dan bisa ketemu Bapak Ibu lagi minggu depannya.
3.       Arnest juga ke Jakarta di hari Sabtu, 19 Maret 2016. Rencana ini sungguh ajaib. Dapet durian runtuh ketemu sama orang-orang yang diinginkan.
4.       Dapet referensi magang di konsultan bisnis langsung ke direkturnya dari dosen yang kasih kuliah pengganti mendadak. Aku kira beliau memberi referensi HRD-nya, setelah aku cek di websitenya, ternyata referensi beliau langsung ke direkturnya.
5.       Rencana kuliah pengganti Jumat Sabtu diganti jadi minggu depannya lagi. Jadi weekend ini bebas.
Terus aku teringat ayat yang udah disebutkan diatas itu. Yaa, nikmat emang banyak bentuknya. Kalau mau dapet tambahan, maka bersyukurlah. Emang sih diawal aku merespon secara normal manusia yang kesal, tapi akhirnya aku menerima keadaan dengan merubah jadwal kepulangan. Dan alhamdulillahirabbil allamin ternyata ada kejutan-kejutan lain di belakang rencana ini semua.
                Semoga menjadi berkah kita semua, amiin.
Share:

Minggu, 06 Maret 2016

#BurhanBacaBuku Anwar Abbas 'Bung Hatta dan Ekonomi Islam'


Setiap saya ke Perpustakaan FEB UI, saya melihat buku ini ditaruh spesial di dalam lemari kaca. saya pun memberanikan untuk bertanya apakah buku tersebut bisa dipinjam atau tidak dan kini saya tau alasan kenapa diletakkan di lemari kaca karena Perpustakaan FEB UI Cuma punya satu buku saja, takut hilang kalau dipinjamkan. Akhirnya setelah diperbanyak sama pustakawan, buku ini bisa dipinjam.

Sekilas, judul buku ini menarik. Bung Hatta dan Ekonomi Islam. Gagah banget judulnya menurut saya. Mungkin karena saya sedang mendalami materi Ekonomi Islam sih. Setelah saya baca-baca, kegagahan judul tersebut mulai luntur. Tambah membaca lagi, semakin hilang minat baca saya. Entah mengapa, yang saya dapati adalah ‘Bung Hatta dan Ekonomi Pancasila-nya yang Disangkut-pautkan dengan Ekonomi Islam.’ Atau mungkin ekspektasi saya salah dalam membaca buku ini.

Ada enam bagian di buku ini yaitu: (1) titik awal mengenal pemikiran Bung Hatta (2) biografi sosial politik Bung Hatta (3) falsafah dan cita-cita sosial ekonomi (4) nilai fundamental dan instrumental ekonomi (5) dinamika ekonomi dan globalisasi (6) kesimpulan. Melihat dari keenam bagian buku tersebut, entah mengapa ruh Ekonomi Islam hanya sebagai ekor saja. Jelas tidak menjadi bagian khusus di buku ini. Padahal, menurut saya, kata penghubung ‘dan’ memiliki arti kesetaraan posisi antara kata yang dihubungkan, lalu menilik kembali bahwa buku ini memiliki judul ‘Bung Hatta dan Ekonomi Islam’. Terlihat aneh.

Pada bagian awal buku, Anwar Abbas membahas tentang kehidupan Bung Hatta. Mulai dari kecil sampai meninggal. Bagian ini memakan hampir sepertiga buku ini. Entah mengapa porsi ini menurut saya terlalu banyak, sehingga pembaca bisa rancu dalam membaca buku ini. Ini biografi Bung Hatta apa ‘Bung Hatta dan Ekonomi Islam’? Bagi saya sih bukan masalah, karena saya suka membaca biografi. Tapi agak aneh aja kalau terlalu panjang.

Mulai memasuki bagian selanjutnya, mulai mengulik teori Ekonomi Pancasila-nya Bung Hatta. Teori yang tidak kapitalis dan sosisalis, tetapi tidak menolak keduanya juga. Condong ke sosialis, tetapi memperbolehkan monopoli oleh BUMN/Koperasi. Entah mengapa ada yang saya sedikit kecewakan dari buku ini. Hampir disetiap topik bahasan, setelah panjang lebar membahas masalah teori-toerinya Bung Hatta, di akhir hanya membahas yang intinya ‘Ya itu sesuai prinsip syariah.’ That’s it. Tidak menerangkan teori syariah yang ada.

Sebagai contoh saya ambil dari halaman 301 yang bertuliskan.

“Pandangan Hatta ini tentu tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam, karena dalam melihat masalah ini Hatta lebih mengedepankan masalah kemaslahatan yang lebih luas dan lebih besar agar tercipta kesejahteraan yang lebih tinggi dan merata di tengah-tengah masyarakat. Ini jelas merupakan salah satu prinsip dalam Islam.”

Satu paragraf ini adalah kesimpulan dari satu sub-topik mengenai pelaksanaan program transmigrasi yang mana terdapat sekitar 29 paragraf sebelumnya. Setelah paragraf kesimpulan tersebut, lalu ganti sub-topik. Entah mengapa saya merasa kurang puas kalau hampir keseluruhan pembahasan dalam buku ini hanya seperti itu unsur Ekonomi Islam-nya. Terasa aneh dan kurang saja.

Ada beberapa hal yang saya dapatkan dari membaca buku ini, yaitu: (1) ternyata Bung Hatta menyetujui bunga bank pada saat beliau hidup (2) Bung Hatta tidaklah sekuler, karena beliau lebih mengedepankan isi ajaran Islam daripada cover-nya belaka (3) Ekonomi Pancasila-nya Bung Hatta adalah gabungan dari kapitalisme, Islam, dan sosialisme.

Secara keseluruhan, buku ini bagus untuk membaca bagaimana kehidupan Bung Hatta dan bagaimana kiprah penemuan teori Ekonomi Pancasila-nya. Apabila untuk rujukan teori-teori Ekonomi Islam yang dilahirkan Bung Hatta atau teori secara umum, maka sangat kurang.

Terakhir, teruntuk Pak Anwar Abbas, terimakasih telah memberikan saya pengetahuan baru mengenai Bung Hatta. Semoga ini bisa menjadi amal jariyah Bapak. Mohon maaf apabila saya terdapat salah kata dalam me-review buku Bapak. Jazakumullah khairan katsiira.

Share:

Ojo Cedhak Kebo Gupak

Ojo Cedak Kebo Gupak [Jawa]
Jangan Dekat-Dekat Kerbau Kotor/Bau [Indonesia]

Saat itu saya lagi chating sama Shafa. Kita diskusi tentang kasus LGBT. Tetiba teringat akan pepatah Jawa tersebut. Akhirnya saya sadar setelah sekian lama, saya telah sesat pikir terhadap pepatah tersebut. Hingga saat itu, saya cuma dapet arti bahwa kalo berteman sama orang itu ya yang berperilaku baik orangnya, jangan sama yang berperilaku buruk, soalnya nanti bisa tertular keburukannya.

Oke, ini gak ada hubungan bahwa LGBT itu baik atau buruk. Saya tidak membahas itu.

Diskusi lebih lanjut dan akhirnya saya sadar kalau maksudnya adalah pintar-pintarlah mencari lingkungan dan beradaptasi terhadap lingkungan sosial. Bukan hanya mencari yang terbaik, tetapi beradaptasi juga. Poin utamanya itu mencari dan beradaptasi. Ketika kita sudah mencari yang maksimal, lalu barulah kita beradaptasi. Kenapa harus ada adaptasi?

Bayangkan kasusnya seperti ini, kita beli rumah baru di perumahan baru. Kita masih gak tau siapa yang mengisi rumah-rumah lain di perumahan tersebut, kita hanya tahu dimana lokasinya dan berapa petak rumah yang dipasarkan serta fasilitas-fasilitas fisik yang akan dibangun pula. Setelah sekian lama kita baru tau kalo lingkungan sosial perumahan itu kurang baik bagi tumbuh kembang anakmu kelak. Kita udah kehabisan biaya untuk membeli rumah lagi, cicilan rumah ini aja belum selesai, masa udah mau pindah lagi? Akhirnya yang bisa kita lakukan hanyalah beradaptasi.

Sebelum kita masuk ke sebuah lingkungan, jelaslah kita akan mecari informasinya seperti apa. Mau masuk kuliah, reputasi mahasiswanya gimana. Mau masuk kerja, reputasi partnernya seperti apa. Keadaan yang ada pastilah ada yang buruk, ada yang baik. Mau gimana lagi kalo udah menjadi bagian dari lingkungan tersebut. Kalau kita mendekati yang baik, maka akan terkena getahnya juga, begitupun kalau kita mendekati ke yang buruk.

Maka, beradaptasilah. Beradaptasi menurut saya bukan berarti mampu mengikuti arus, tetapi mampu mengendalikan lingkungan disekitar agar mendapat yang terbaik bagi diri kita. Bunglon itu beradaptasi dengan menyamakan warna tubuhnya dengan lingkungan disekitarnya untuk berlindung dari predator dan itu hal terbaik bagi dia. Bukan berarti beradaptasi harus memiliki ‘warna’ yang sama. Kalau adaptasi kita adalah berbeda dari ‘warna’ sekitar kita, maka bukan masalah, asalkan itu yang terbaik buat diri kita sendiri. Jadi, cobalah untuk mencari lingkungan yang terbaik untukmu, kalau sudah maksimal maka beradpatasilah dengan lingkungan tersebut. Terbaik bukan hanya untuk dunia, tetapi juga akhirat.

Share: