Rabu, 13 April 2016

Salut Untuk Pevita Pearce!

Satu kata untuk Pevita Pearce, salut!

Ya, dia berani mengungkapkan bahwa dirinya mengidap tumor payudara. Jumlahnya tiga sekaligus. Meskipun hal tersebut baru diungkapkan beberapa saat sebelum operasi dan setelah dua tahun disembunyikannya1) siiiih, tapi it’s okay. Tumornya Pevita Pearce (selanjutnya Pev) ini emang jinak banget. Dalam dua tahun, ketika operasi pun masih ada jaminan bahwa akan sembuh 100%2).

Ahelah cuma ngakuin sakit aja. Biasa aja kali.

Tunggu dulu, alasan saya salut sama Pev karena Pev adalah artis wanita yang masih muda dan cantik. Oke jujur aja aku gak begitu tau Pev sebelum kasus ini mencuat. Tapi, kasus tumornya adalah tumor payudara dimana itu adalah organ vital yang menurutku memiliki kekuatan untuk menarik perhatian dan ketika dikatakan tumor, maka payudara tersebut akan jadi tidak menarik. Muda. Cantik. Payudara.


Bagi pengidap tumor payudara, ketika dia terdiagnosis maka kemungkinan mentalnya akan jatuh sangat besar. Tumor identik dengan kanker dan kanker identik dengan sesuatu yang tidak bisa disembuhkan dan sesuatu yang tidak bisa disembuhkan pasti akan mengakibatkan kematian. Ini momok yang sangat besar bagi kondisi mental pasien tumor. Padahal tumor masih anaknya kanker. Masih ada kemungkinan besar untuk disembuhkan. Kasus jatuhnya mental tadi dialami oleh ibu saya, beliau didiagnosis BI-RADS 33) dan mental beliau langsung jatuh. Padahal pada level tersebut masih dapat disembuhkan.

Seperti yang saya dapatkan dalam Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Edisi Semester 1 Tahun 2015 terbitan Kementrian Kesehatan RI. Dijelaskan bahwa pada tahun 2012 saja, kanker payudara sudah menempati 43,1% dari jumlah kasus baru yang berjumlah 14.067.894. Kanker payudara menjadi hal yang lumrah bagi wanita saat ini. Ketika dapat dikendalikan, maka kasus kematian dari kanker payudara ‘hanya’ 12,9% dari 8.201.575 kematian dari seluruh kemtian kanker di dunia. Hal ini membuktikan bahwa kanker payudara dapat disembuhkan dengan sangat baik.

Apa yang dilakukan Pev dapat mendorong para wanita untuk semakin sering melakukan pemeriksaan kesehatan guna mengecek adakah tanda-tanda tumor pada payudara. Karena tumor belum tentu kanker (koreksi saya kalau salah), sehingga masih dapat disembuhkan dengan mudah. Apabila sudah terdeteksi, maka akan sangat mudah diobati. Pun kalau operasi, seperti yang dilakukan Pev, maka operasinya tidak membutuhkan istirahat yang cukup lama. Sehari udah boleh pulang dari rumah sakit.
Terkadang, karena dianggap biasa saja dan paranoid akan penyakit kanker, maka ketika akan dilakukan tindakan, tumor sudah menjadi kanker dan sudah ganas. Sehingga tindakan yang dilakukan akan susah dan kemungkinan akan terlambat dalam penanganan pula. Kasus ini seperti nenek saya yang ketika akan dilakukan tindakan, ternyata kanker yang ada pada payudaranya sudah pada stadium 4. Sehingga, kondisi tubuh sudah tidak kuat juga dan Allah segera mengundang ruh beliau ke alam selanjutnya.

Terakhir, semoga Pev bisa menginspirasi para wanita lainnya untuk tetap percaya diri apabila mengidap tumor payudara. Begitu pula para lelaki yang sudah memiliki istri pun harus mendukung istrinya untuk melakukan pemeriksaan kesehatan berkala. Apabila ternyata benar mengidap tumor, maka teruslah motivasi sang istri untuk melakukan penyembuhan. Dukungan mental sangat dibutuhkan.

Kini, resiko kanker payudara sangat besar bagi wanita, tetapi besar kemungkinan pula untuk disembuhkan. Jaga kesehatan, sob!

Referensi:
3)      Apa itu BI-RADS? Baca disini.

Share:

Selasa, 05 April 2016

Renungan Jembatan Aborsi: Sebuah Tujuan Hidup

Jembatan Aborsi adalah sebuah sebutan jembatan penyeberangan rel kereta api yang menghubungkan antara Universitas Indonesia dan Barel. Struktur anak tangga yang tidak rata dan tidak memiliki tinggi yang sama membuat pengguna jembatan pasti merasa lelah. Sehingga, seolah-olah wanita hamil yang melewati tangga itu akan keguguran – naudzubillah – maka disebutlah jembatan aborsi.

But, why? Mengapa sebuah renungan?

Setiap hari aku melewati jembatan itu. Terdapat dua pemandangan wajib diatas jembatan. Pada sebelah kiri, kita akan melihat deretan baliho di UI. Akhir-akhir ini, baliho-baliho itu menampilkan mahasiswa UI yang ikut Model United Nations (MUN). Aku akui, itu sangat keren! Sudah 3 tahun aku melihat pergantian pemain yang mengikuti MUN. Lalu di sebelah kanan, Apartemen Taman Melati, tempat orang menengah keatas berisitirahat. Beristirahat. Pagi pergi, pulang sore atau malam.

Aku mulai bertanya kepada diri sendiri, mereka sudah sampai ke luar negeri, sudah memiliki prestasi sangat besar, sedangkan aku? Apa yang telah aku kerjakan? Mereka tidur nyenyak di apartemen yang setiap malam kupandang gemerlap lampunya. Kapan aku bisa seperti itu? Punya cukup uang untuk tidur nyenyak di apartemen semacam itu.

Mengapa aku cuma gini-gini aja?

Apa yang udah aku lakuin?

Kapan aku bisa?

Mungkin ini yang membuatku terus menggerutu. Kok dia bisa, aku gak bisa? Pun aku akhirnya merenung. Oke renungan ini cukup lama, tiga tahun aku merenung dan baru-baru ini aku menemukan jawabannya. Lalu aku kembali ke dasar dari hidup ini. Apa sih tujuan hidupku? Ya, tujuan!

Setelah berdiskusi dengan Seta, manusia keturunan seniman yang hidupnya berseni pula, aku menemukannya. Simpel. Membahagiakan keluarga. Ya, tujuan hidupku sesimpel itu. Keluargaku saat ini atau keluarga yang akan aku pimpin nantinya. Akan berakhir saat aku mati. Selesai. Kayak anak kecil banget ya tujuannya? Bukan masalah.

Karena tujuanku luas banget batasannya, maka cara mencapainya pun banyak. Aku pulang ke rumah setiap bulan, itu salah satu bentuk caraku saat ini. Aku nanti memilih kerja yang tidak lembur mati-matian itu pun salah satu caraku nantinya. Belajar Akuntansi Syariah biar tahu mana kasus halal-haram dalam transaksi, pun salah satu caraku juga.

MUN? Mungkin itu cara mereka mencapai tujuan. Siapa tau tujuan mereka memang mau menjadi orang yang dikenang oleh Indonesia. Apartemen Taman Melati? Mungkin itu juga cara mereka mencapai tujuan mereka sendiri. Siapa tau tujuan mereka adalah ingin selalu tidur nyenyak dan aman dengan cara mereka sendiri.

Aku masih ingat, dalam tiga tahun ini aku terus menggerutu. Melihat teman-teman SMA sudah melakukan banyak hal. Terlebih teman-teman selama di perkuliahan. Aku hanya duduk di kamar dan menonton tumpukan film. Setiap buka media sosial, aku semakin menyalahkan diriku. Yaudah, gak ada perkembangan. Siklusnya gitu-gitu aja.

Setelah aku menemukan tujuan hidupku, aku mulai menghargai pencapaian mereka dan pencapaian diriku sendiri. Aku bangga aku sudah pernah hidup dua tahun di Asrama UI. Aku bangga sudah menghabiskan waktu di KRL seharian hanya melihat orang bersosialisasi. Aku bangga sudah mendengarkan Prambors setiap harinya. Aku bangga bisa makan dari nasi yang kumasak sendiri. Aku bangga pernah melihat Jusuf Kalla dari kejauhan. Aku bangga pernah tersasar di Solo. Aku bangga sudah pernah keliling sebagian Jakarta menggunakan Go-Jek. Aku bangga akan hidupku.

Tapi, bukan berarti dengan tujuannku yang sesimpel itu terus aku akan terlena, "Kan tujuanku membahagiakan keluarga, gampang kan?" Nope. Buat apa menjadi kebahagiaan keluarga tapi hanya yang rata-rata saja? Aku harus tetap membuat prestasi yang gemilang.

Ketika kita sudah tau tujuan hidup, kita akan menghargai hidup kita sendiri. Kita juga tidak akan membandingkan diri kita dengan orang lain yang udah sukses. Karena jelas, tujuan setiap orang berbeda-beda maka secara otomatis cara untuk menempuhnya pun berbeda-beda pula. Jangan salah memandang pula, terkadang yang kita bandingkan adalah cara orang untuk mencapai cara-cara dia yang lain untuk menuju tujuan mereka yang sebenarnya. Jadi, lihatlah bahwa mereka sedang berusaha mencapai tujuan besar mereka masing-masing.

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
QS. Az-Zariyat ayat 56


Depok, 3 Maret 2016 | 02.55 A.M.
Besok UTS Manajemen Perpajakan & Teori Akuntansi
Share: