Sabtu, 17 Desember 2016

Pertanyaan Penuh Makna Khas Ibu

"Sudah sholat belum?"


Pertanyaan pamungkas dari Ibu yang selalu ditanyakan ke aku. Sejak SD hingga kini. Mulai saat persami sampai merantau disini.

Mungkin dalam kamus beliau, gak ada pertanyaan macam:

"Udah makan?"
"Gimana sekolah?"

Terkadang aku merasa, ini aku beneran diperhatiin gak yaa? Kok gak pernah ditanyain pertanyaan lain.

Hingga suatu ketika, Mbak Lulu juga mempertanyakan hal yang sama dalam canda tawa keluarga.

Oke, berarti bukan hanya aku aja yang ditanyain kaya gitu. Aman.

-------

Kini, baru tersadar. Pertanyaan ringkas yang terus berulang itu, memiliki penuh makna.

Meskipun tak tersurat kasih sayang, tetapi makna siratan yang ada tak mampu tertampung oleh apapun di dunia ini.

Seandainya pertanyaan ini lepas, mungkin pertanyaan 'udah makan' dan 'gimana sekolah' akan terjawab 'ntar aja' dan 'ya begitulah'. Ya, karena tiang hidupku bisa jadi akan rapuh, sehingga hidup akan ikut bergoyang juga.

Terimakasih Ibu, atas pertanyaanmu yang selalu mengingatkanku. Semoga menjadi ladang amalmu kelak nantinya.

-------

Kini, pertanyaan rutin dari Ibu bertambah satu semenjak merantau.

"Uang udah habis belum?" 

HEHEHE.
Share:

Dimana Mendapatkan Kawan?

"Pak, kenapa kawan di SMA dan di kuliahan rasanya beda ya Pak?"


Ku mulai pembicaraan dengan Bapak kala itu dengan sebuah pertanyaan yang mungkin ke kanak-kanakan. Iya, pertanyaan kegundahaan yang saat itu kurasakan, sekitar 2 tahun lalu.

"Iya, emang beda."

Ku mulai berpikir dari jawaban Bapak. Kenapa Bapak menyetujui pertanyaanku?

"Kawan SMA memang untuk kawan bersenda gurau. Untuk lebih dari itu, susah."

Lanjut jawaban dari Bapak, sembari ku terus menyimaknya.

"Sedangkan kawan kuliah, akan berguna bagimu untuk kerja kelak. Maka, senda guraunya tidak sebanyak kawan SMA."

Tak ada pertanyaan lagi atas jawaban Bapak yang terakhir ini. Ku hanya berpikir dan bertanya dalam hati, apakah iya?

-------

2 tahun berlalu dan kini kusadari.

Untuk bersenda gurau secara lepas,  aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam dengan kawan SMA. Topik yang sangat luas tanpa batas. Tetapi akan berhenti disitu saja. Itu masa lalu. Nostalgia.

Kini, semakin terfokus pikiran kami. Topik pembicaraan yang kulakukan dengan kawan kuliah tak jauh dari ekonomi dan bisnis. Sudah. Paling menyerempet ke politik. Terkadang memang membosankan, tetapi untuk mengasah pengetahuan kerja, bersama rekan kerja di masa depan, menjadi sebuah investasi baru dan cukup menjanjikan.

---------

Jadi, dimana akan mendapatkan kawan? SMA atau Kuliah? Keduanya bisa dan keduanya akan bermanfaat.

Perpustakaan FEB UI
Depok, 17 November 2016
H-14 Deadline Proposal Skripsi
Share:

Sabtu, 03 Desember 2016

Teman Ahok, Seriusan Lo?

Berhenti sejenak pada postingan temanahokofficial di Instagram.




Gue cermati, gue baca perlahan. Dan gue pertanyakan, seriusan lo?

Entah mengapa, ini bukan Teman Ahok banget deh. Bukan Teman Ahok yang gue kenal sejak militan dahulu. Meskipun gue hanya mengenalnya via dunia maya saja.

Gue cari, siapa yang sebenarnya bikin acara ini, Karena kalo lihat detailnya, acara ini cukup mewah. Ternyata yang bikin semacam organisasi atau perkumpulan bernama Kebangsaan_ID. Penasaran, gue telusuri apa organisasi ini, gue cek Instagram dan Twitter-nya (karena belum ada websitenya).

Wow! Baru kemaren November 2016, organisasi ini join dua akun itu.

Gue cari siapa ketuanya dan AHA. Setidaknya ada kaitan sedikit demi sedikit. Find yourself, guys!

Terakhir. Teman Ahok, Seriusan Lo joinan kaya gini?

Gue akhirkan disini aja deh postingan kali ini.
Share:

Aksi 212, Gusti Maafkanlah Hamba-Mu

Sekitar akhir November, aku berdiskusi dengan Ibu, Diskusi mengenai aksi 411. Posisiku saat itu berada di pihak yang masa bodoh. Argumenku, aksi 411 kental sarat politis. Sedangkan Ibu, pada posisi, inilah dimana kita akan diuji keimanannya.

Oiya, sebelumnya kami membahas mengenai aksi rush money.

Hingga pada hari Kamis, 1 Desember 2016. Aku berpikir, kemana ku harus berpihak kali ini?

Ditengah kebimbangan itu, ku menemukan tweet milik Gus Mus mengenai hasil pemikiran beliau mengenai sholat berjamaah di jalanan -- yang merupakan salah satu bagian dari aksi 212. Beliau berpendapat bahwa hal tersebut adalah bid'ah.

"San, lo besok ikutan?" tanyaku ke guru ngajiku, yang kebetulan seangkatan, jawabnya dengan ringan dan tulus, "Insyaallah." Jawaban tulus ini membuatku ragu.

Menjelang maghrib, ku panjatkan doa, kemanakah ku harus berpihak?

Ba'da maghrib, ku tamatkan surat Al-Kahfi dan kupanjatkan doa lagi untuk aksi 212 dan hasil keputusan pribadiku ini. Ku mantab untuk berpihak pada aksi 212, tetapi hanya mampu mendoakan saja.

Esoknya, hujan turun deras hingga siang hari. Media nasional mengabarkan betapa damainya aksi 212. Malam dan hari setelahnya, tidak ada berita kericuhan atas aksi 212 ini. Subhanallah.

Kuyakin atas pilihanku ini karena umat berhak memilih ketika alim ulama telah mengeluarkan hasil ijtihadnya. Tetapi, Gusti, maafkanlah hamba-Mu ini. Ku tau pilihanku ini adalah selemah-lemahnya iman, ku hanya mampu mendoakan.
Share: