Setelah sekian lama tertimbun
dalam tumpukan file-file di laptop, akhirnya e-book ini terbuka kembali. Tepat
setelah membaca judulnya, “Wow! Ini buku pasti isinya keren banget!” Akhirnya
kubaca selembar demi selembar dan ternyata emang keren banget.
Oke, kita mulai tentang Farag
Farouda. Beliau ini meninggal karena menulis buku ini. Sepertinya beliau ini
pemikir yang cukup netral. Ingin melihat sesuatu tanpa batasan peraturan agama
tetapi masih tetap mengikuti norma-norma agama Islam. Masih menghormati sahabat-sahabat
nabi, tetap menuliskan hal-hal sopan, dan tidak hiperbola dalam menuliskan
fakta.
Buku ini mengungkapkan khilafah
dari sudut pandang politik. Unsur agama dikesampingkan dalam buku ini. Buku ini
cukup kontroversial di tengah-tengah masyarakat Mesir saat itu yang berkecamuk
karena ingin didirikannya Khilafah. Karena murni sudut pandang politik, maka
jangan kaget kalau Farag Farouda ini mengungkapkan hal-hal yang sangat
mengagetkan dan pengambilan kesimpulan yang tak kalah membuat kaget juga. Tapi,
setelah kita baca buku ini, kita jadi lebih sadar kalau kita harus membuka
wawasan luas-luas mengenai sebuah kasus meskipun itu kasus agama. Karena
ternyata gak sedikit pula permainan politik atas menggunakan dalil-dalil agama
yang udah ‘dipesan’ oleh penguasa.
Satu hal yang saya sukai dari
buku ini dan cukup membuat saya berpikir adalah kita sering berangan-angan
bahwa kita ingin hidup seperti ketika jaman kepemimpinan Rasulullah SAW atau
kepemimpinan al-Khulafa’ al-Rasyidun. Kita ekspos terus menerus tentang hal-hal
baik ketika jaman itu. Bagaimana cara menuntaskan ini itu dan lain sebagainya.
Tetapi kita juga sering lupa bahwa kita ini generasi kesekian dari Rasulullah
SAW, dimana sudah berbeda jauh sekali semangatnya. Ketika jaman al-Khulafa’
al-Rasyidun saja sudah terjadi kasus ini itu, apalagi di jaman kita yang
orangnya seperti ini? Sehingga, seolah-olah hal yang utopis untuk menjadi
khilafah lagi kalau kita hanya melihat kinerja kepemimpinan Rasulullah SAW dan al-Khulafa’
al-Rasyidun yang relatif sangat sebentar daripada sistem khilafah Dinasti
Umayyah dan Dinasti Abbasiyah yang hampir seribu tahun. Dimana pada kedua
dinasti tersebut tidak sedikit penyelewengan-penyelewengan politik yang sedikit
banyak mencederai khilafah itu sendiri.
Menggunakan sub-judul “Sisi Kelam
Praktik Politik dan Kekuasaan Dalam Sejarah Kaum Muslim” udah mengungkapkan isi
dari keseluruhan buku ini. Banyak hal yang mengejutkan di dalamnya – atau
akunya aja yang gak tau ya? – yang bisa kita ambil untuk pelajaran sejarah.
Salah satu yang mengejutkan
adalah seperti kutipan yang kuambil dari buku ini...
“Renungkanlah jumlah kekayaan lima orang pemuka sahabat yang mempunyai
nama besar dalam sejarah Islam. Mereka semua adalah sosok-sosok yang diberi
kabar gembira akan memperoleh surga oleh Rasulullah, yaitu enam orang yang
diwasiatkan Umar untuk dipilih menjadi penggantinya. Salah satunya adalah
khalifah terpilih, yaitu Usman bin Affan. Ada juga al-Zubair bin ‘Awwam, Sa‘ad
bin Abi Waqash, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf, sebagaimana
dikisahkan kitab al- Tabaqāt karangan Ibnu Sa‘ad Di situ dikatakan bahwa tatkala Usman terbunuh, di dalam
berangkasnya terdapat 30 juta 500 ribu dirham, serta 100 ribu dinar. Semuanya
dijarah dan hilang tak bersisa dalam pemberontakan yang mengakhiri hidupnya. Ia
juga meninggalkan seribu ekor unta di Rabzah, dan sejumlah pemberian sedekah
sekitar 200 ribu dinar untuk Beradis, Khaibar, dan Wadil Qura.”
Lalu sang penulis melakukan
penarikan kesimpulan seperti ini...
“Perhatikanlah apa yang diceritakan al-Mas’udi kepada kita tentang
Umar. “Ketika Umar melaksanakan haji, selama perjalanan pergi dan pulang ke
Madihah, ia hanya menyedekahkan uang sekitar 16 dinar. Ia bahkan mengatakan
kepada anaknya, Abdullah: ‘Kita telah berbelanja secara berlebihan dalam
perjalanan ini’.” Bayangkanlah, andai 16 dinar sudah mencukupi untuk belanja
Umar dan anaknya, atau pun mencukupi kebutuhan Umar sendiri untuk masa sebulan
penuh, kita tentu dapat membayangkan apa yang bisa diperbuat dengan puluhan
juta dinar dan kepingan emas yang dipotong dengan kapak pun akan membuat tangan
melepuh.”
Ini masih berhubungan dengan al-Khulafa’ al-Rasyidun, belum dengan dinasti
kekhilafahan selanjutnya yang kalo diungkap lebih mengejutkan lagi kenyataan
mengenai hal-hal yang masih disembunyikan selama ini.
Seperti yang saya ambil dari buku
ini...
“ ... Bahkan, sejarah mencatat bahwa Ali bin Abi Thalib pun, seorang
khalifah yang paling asketis dalam hidupnya, wafat dengan meninggalkan 4 orang
istri dan 19 orang selir. Jumlah gundik-gundik ini semakin berkembang dalam
sejarah imperium Islam; menjadi puluhan pada masa Umayyah, mencapai ratusan
pada masa Yazid bin Abdul Malik, dan menembus angka ribuan pada masa Abbasiyah.
Bilangan ini bahkan mencapai angka 4000 orang sebagaimana sudah kita singgung
dalam pembahasan tentang al-Mutawakkil. Khalifah ini konon telah meniduri 4000
gundik selama seperempat abad masa kepemimpinannya. Tentu ini merupakan rekor
tertinggi kepemilikan gundik yang pernah tercatatkan dalam sejarah.”
Jujur saja aku shock. Kaget.
Miris. Kok bisa. Apakah mungkin meskipun kami sama-sama Islam, tetapi memiliki
budaya yang berbeda dan jabatan duniawi yang berbeda sehingga untuk mencapai
angka istri maupun gundik sebanyak itu aku gak kepikiran.
Mirisnya, dulu ketika tau sejarah
kerajaan-kerajaan lain tentang pergundikan yang angkanya cukup fantastis pula
dan aku bersyukur karena Islam tidak seperti itu, eh ternyata aku salah.
Sejarah mencatat hal yang sama pula di dinasti Islam.
Adalagi kebenaran yang diungkap
dalam buku ini. Ini menyangkut Dinasti Abbasiyah...
“ ... Al-Watsiq sungguh telah membuka babak baru dalam rangkaian
episode sejarah kekhalifahan Islam. Ia menapaki jalannya sendiri, berbeda
dengan jalur yang ditempuh para khalifah lainnya. Ia mengabadikan namanya lewat
syair-syairnya. Lebih dari itu, ia memerintah selama 6 tahun dengan
berpindah-pindah dari pelukan seorang pria ke pria lainnya. Agar para pembaca
tidak rancu membaca soal ini dan menganggapnya salah cetak, saya perlu menuliskannya
lagi. Ia memerintah selama 6 tahun dengan berpindah-pindah dari pelukan seorang
pria ke pria lainnya. Ia memang punya kecenderungan seksual yang menyimpang dan
mencintai sesama jenisnya.”
Al-Watsiq ini khalifah lho.
Pemimpin negara Islam. Gak habis pikirlah. Ketika kita mengelu-elukan anti LGBT
di saat-saat ini, tetapi ternyata ada pemimpin yang malah seperti ini.
Kesimpulannya, banyak hal yang
akan membuat pembaca terpana dari membaca buku ini karena terungkapnya hal-hal
yang selama ini tidak terungkap. Akan tetapi, saran saya, jangan memakan
bulat-bulat informasi yang ada di buku ini, ditelaah lebih lanjut. Apakah
informasi yang Farag Farouda sampaikan ini benar-benar fakta atau hanya
karangan beliau sendiri. Tidak tertutup kemungkinan untuk menemukan fakta-fakta
baru yang lain. Pun jangan pula langsung anti-khilafah, karena setiap pihak
pasti memiliki argumennya masing-masing yang akan diperjuangkan. Tetaplah
terbuka terhadap wawasan baru yang membuat kita menjadi lebih baik.
Semua kebenaran datangnya hanya
dari Allah SWT semata, semoga kita selalu di dalam lindungan-Nya dan selalu
ditunjukkan ke jalan yang lurus. Amiin.
0 komentar:
Posting Komentar